![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcfLHuyPMlaPExmyL6fXtZsz2WpPELTFbS5RkepNDT5_6H720hnhfrFxd7gKJ_fBUwzcIU0UGw_46T_M6NLVjEGDlMYUn_ev1HDwxwjuPC4q36b2MG-RquS1oTt-4h7oR-xGSpN5zYQQ/s400/gus+dur4.jpg)
Agama yang datang ke Indonesia adalah dalam rangka membangun bukan menghancurkan. Dalam rangka memperbaiki bukan merusak. Dalam rangka mengayomi bukan menindas. dalam rangka melindungi bukan memperbudak. Dalam rangka menentramkan bukan memperkeruh situasi. Agama dibutuhkan untuk membangun jiwanya dan membangun badannya. Terlebih Islam, (sebab ideologi agama penulis sendiri Islam) Islam adalah Agama yang membebaskan dari belenggu kegelapan kepada cahaya (minadzulumati ilannur), membebaskan dari perbudakan manusia yang biadab kepada manusia yang beradab, membebaskan dari kebodohan menuju manusia yang pandai bijaksana.
Sebagai agama pembebas, tentu saja ajaran Islam menuntut pemeluknya untuk konsekuen mengamalkannya. Bukan saja konsekuan mengucapkannya, bukan saja konsekuan mendiskusikannya, bukan saja konsekuan mendakwahkannya, bukan saja konsekuen membicarakannya. Islam dan Agama seharusnya bukan sekedar kata-kata. Islam adalah cinta dan pengabdian. Jika kita berbusa-busa berceramah tentang teori ajaran islam semata tanpa bukti pengamalan maka Islam sendiri akhirnya menjadi dogma di menara mercusuar yang tak menyentuh bumi.
Islam Agama cinta dan pegabdian. Cinta dan pengabdian membutuhkan kesadaran dan keikhlasan.Gemar memberi tidak menuntut. Gemar menanam jasa anti tertanam jasa. Wujud transendental Islam adalah pada pemeluknya yang membawa Islam sebagai cinta dan pengabdian. Selayaknya kekasih, ia akan selalu mendekat bukan menjauh, akan menyayangi bukan membenci, akan memperhatikan bukan memvonis, akan membebaskan bukan membelenggu.\
Cinta bukan sekedar kata-kata indah. Itu namanya gombal. Berislam juga tidak cukup hanya dengan kata-kata yang berbau agama, itu juga raja gombal. Islam adalah totalitas dari gerak hati, ucapan dan perbuatan. Ajaran Islam yang indah janganlah kita nistakan sendiri oleh kita pemeluknya. Jika dinista oleh pmemluk bukan Islam itu sudah menjadi sunnatullah. Mereka tidak akan ridlo sampai umat Islam berpindah Aqidah. Namun yang ironis adalah kita sendiri yang menista agama kita sendiri dengan cara tidak konsekuen dengan ajarannya. Kita sendiri yang tidak mau mengakkan amaliah ajaran Islam. Kita sering melanggar ajaran Islam itu sendiri tanpa merasa bersalah. Jika merasa bersalah itu masih ada kesempatan untuk taubat. Merasa melanggarpun tidak. Islam perlu bukti bukan bualan dan teori dan dogma saja. Kita sangat memerlukan orang-orang yang selalu mencinta dan mengabdi. Bukan untuk siapa-siapa tetapi untuk Maha Cinta dan Maha Pencipta.
Kata-kata yang paling sederhana dalam ajaran Islam sangat indah dan sederhana. Kita mencintai dengan kata-kata yang sederhana. Namun perlu mati-matian dan sepenuh jiwa untuk merealisasikannya. Misalnya kata ikhlas, cukup familier di telinga kita namun menerapkan keihklasan dalam kehidupan kita, luar biasa sulitnya. Bukan karena ajaran ikhlas yang mempersulit tetapi jiwa kita yang masih belum selaras dengan ajaran itu. Kita masih serakah, kita masih memerlukan pengakuan, kita masih ingin di puji setiap melakukan kebaikan. Kita sendiri belum bisa menghayati bahwa Islam adalah cinta dan pengabdian kepada Sang Kholik semata.
Misalkan kita berceramah tentang pentingnya shalat duha, sederhana saja. Namun pada dasarnya jika kita tidak pernah melakukan shalat duha maka sebenarnya kita telah berbohong dan menista diri kita sendiri. Junjungan kita Nabi SAW tercinta, selalu mengajak dan memerintahkan sesuatu yang beliau sendiri sudah melakukan. Dengan begitu kita akan tidak sembarangan mendakwahi, menceramahi, atau memerintah orang lain dalam hal agama. Koreksi diri sebelum mengoreksi orang lain. Hasiibu qobla antuhasabuu. Awali dari diri sendiri ibda’ binafsik. Barang siapa yang berusaha mengenal dirinya maka ia sebenarnya berusaha mengenal Tuhannya. Barang siapa yang mengenal Tuhannya dengan baik maka dalam bergama ia akan mengenal arti cinta dan pengabdian dengan sebenar-benarnya. Karena kebenaran yang mutlak adalah miliknya. Jika kita didekati oleh-Nya maka kita akan difahamkan akan agama. Kejayaaan agama itu sendiri terletak pada keikhlasan para pemeluk-pemeluknya.
Islam sendiri merupakan esensi ajaran akhlak mulia. Jika Nabi SAW adalah Al Quran berjalan, maka siapa lagi yang akan kita jadikan uswatun hasanah kecuali Beliau. Beliau diutus ke dunia ini dalam rangka menyempurnakan akhlak. Akhlak tidak sekedar pintar tetapi lebih mengedepankan rasa dan estetika. Dalam etimologi Jawa ada “bener” ada “pener”. Bener belum tentu pener tetapi kalau pener pasti sudah dianggab bener. Terkadang karena tingginya pendidikan misalnya S3, dia memandang sebelah mata orang yang hanya lulusan SD saja terhadap pendapatnya tentang fenomena yang paling baru. Secara teori benar saja si S3 lebih bisa berpendapat secara lebih runtut namun menghina si SD ini tidak pas. Seharusnya jika dengan akhlak mulia ini, si S3 seharus justru lebih bisa mendengar orang lain, lebih bisa menghargai, lebih santun, lebih “ngemong wong cilik”, lebih santun dalam membicarakan sesuatu dengan kelas pendidikan di bawahnya. Jika dia bisa menghargai maka akhlak si S3 ini akan selalu diingat oleh si SD dari pada sebarek keilmuannya. Nantinya kehormatan si S3 ini bukan lagi atas tingginya ilmu tetapi karena tingginya Akhlak. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar