Senin, 23 Januari 2017

Blokir

Media adalah racun. Semakin seseorang mengikuti media semakin banyak racun yang di konsumsi. Oleh karena itu mungkin salah satu alternatif adalah blokir. Kita kembali kepada status awal, lugu bin utun menghadapi dunia yang serba cepat arus informasinya. Lebih banyak memandang ke dalam dari pada keluar. Orang bilang berlagak bodoh terhadap situasi. Ndeso, memang, bahkan primitif. Tidak reaktif terhadap isu maupun berita beredar sebelum benar benar yakin. Perkara ini tidak gampang karena seseorang harus menguasai ilmu "aku ini hanyalah" bukan "aku ini adalah". Kita semakin minggir bahkan terpinggirkan dari arus zaman. Kita memperbanyak diam dan memperbanyak amaliah. Melakukan yang pokok dan menambah yang sunnah menghindari yang syubhat apalagi haram.

Sebagian besar menganggap bahwa teknologi dan informasi adalah kebutuhan. Media dikatakan sebagai pisau tajam yang bisa digunakan sesuai pemegangnya. Namun tak ayal jika kita masuk keranah itu kita akan terseret jauh, menjauhi perkara-perkara yang diridloi Allah. Menggunakan teknologi dan informasi dengan semena-mena.  Menggunakan tren sebagai ideologi akan semakin menjauhkan kita dari-Nya jika kita tidak bisa membawa diri. Itulah kenyataan yang terjadi, semakin tinggi teknologi dan cepat informasi semakin kita mengkonsumsi racun yang tidak terlihat telah menggelapkan hati. Padahal hati yang bersih yang dimiliki orang mukminlah yang mampu menampung "Allah" Kemaha Besaran dan Keagungan-Nya.

Kita mengucapkan selamat tinggal pada dunia ramai. Berlari sekencang-kenacangnya dari perkara-perkara yang membuat kita semakin jauh dari Pandangan Rahmat-Nya. Berkelana dalam kehidupan yang sunyi. Sendirian, hanya ada kita, para Ulama, Rasulullah dan Allah. Berjalan seolah olah tidak sesuai dengan kekinian. Tapi terus berjalan dan berhati-hati dalam menapaki perjalanan memblokir perkara yang haram dan syubhat. Dhahiron wa bathinan, ilmu wa 'amalan. Menjauhi yang terlalu dan bersikap biasa-biasa. Selalu waspada terhadap syahwat yakni perut dan bawah perut. Kita masuk kedalam ideologi para sufi. Sufisme ini lah yang menjadikan kita mempunyai ketahanan batiniah dalam menghadapi gempuran tawaran-tawaran nafsu yang semakin menggiurkan.

Secara umum kita akan dianggap kaum yang tidak mau maju. Apalah arti kemajuan zaman, teknologi dan budaya yang menjadikan kita semakin melupakan-Nya. Kita diam tidak berbuat merusak atau tidak menambah kerusakan berarti masih bertahan dalam kebaikan. Sebagian besar manusia merasa melakukan pembangunan padahal hakikatnya berbuat menghancurkan. Membersihkan hati dan wira'i adalah keniscayaan. Keduanya mutlak diperlukan bagi keseimbangan dunia ini. Akhirnya kita akan menjadi jiwa-jiwa yang muthmainnah wushul kepada-Nya. Wallahu a'lam bishowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar